Disini, saya tak akan bercerita panjang lebar tentang sejarah asal mula penciptaan tusuk gigi. Tapi cuma sekedar mau membandingkan tusuk gigi yang dulu sering saya gunakan disaat masih kecil, dengan tusuk gigi yang kebetulan saya beli kemarin di sebuah supermarket.
Dulu, di kampung. Ketika masih kecil saat makan pohon tebu. Eeh...disebutnya apa ya, pohon tebu atau batang tebu. Atau daging tebu, apa cukup di sebut tebu aja.
Okelah, saya milih menyebut tebu aja.
Jadi, saat masih kecil, saya doyan banget makan tebu. Tebu berwarna kuning keijo-ijoan yang saya tak tahu nama asli atau nama latinnya. Yang jelas lebih manis jika dibandingkan dengan tebu berwarna hitam kecoklatan dan juga sekaligus besar itu.
Nah, setiap kali menghabiskan satu ruas tebu, maka serat-seratnya pun selalu tertinggal disela-sela gigi. Terasa mengganjal dan membuat tak nyaman untuk melanjutkan ruas berikutnya.
Disinilah fungsi kehadiran tusuk gigi untuk mengakhiri ketidaknyamanan pada mulut. Agar ruas-ruas tebu selanjutnya bisa terkunyah sampai ruas yang terakhir.
Tapi, tusuk gigi yang saya gunakan pada saat itu, tidak sama dengan tusuk gigi yang digunakan sekarang. Seperti yang ada di meja-meja warteg, di warung-warung nasi padang, atau di restoran-restoran hotel berbintang. Yang tusuk giginya disimpan dalam botol kecil dengan beberapa titik lubang sebagai jalan keluarnya. Yang terbuat dari kayu atau bambu dengan rautan halus dan berujung runcing lagi kuat. Bahkan beberapa jenis tusuk gigi telah diberi ukiran unik di salah satu ujungnya, khususnya di restoran mewah yang pelayanannya serba wah.
Tusuk gigi yang saya gunakan cukup simpel, tergantung apa saja yang secara spontan bisa teraih dengan tangan. Seperti saat sedang asyik memakan tebu. Karena saat itu tempat mengupas kulit tebu berdekatan dengan pohon salak, maka secara spontan duri-duri salak yang berbaris secara acak pada pelapahnya pun jadi senjata pemungkas. Tinggal tusuk,korek, tarik lalu buang. Jika patah, ambil lagi. Tak pernah takut kehabisan tusuk gigi, karena satu pelepah bisa sampai ratusan duri salak. Dan satu pohon salak bisa mempunyai puluhan pelepah. Sementara disitu ada sekitar puluhan pohon salak. Jadi silahkan hitung sendiri, berapa kira-kira duri-duri salak yang bisa dijadikan tusuk gigi. Masalah khawatir melukai gusi, tak terpikir oleh otak saya saat itu.
Berbicara tentang tusuk gigi, setiap orang pasti mempunyai imajinasi dadakan yang berbeda untuk menggantikannya, saat tusuk gigi itu tak ada namun dibutuhkan saat itu juga.
Seperti ketika saya tinggal di Batang, Semarang, Jawa Tengah. Saya masih ingat, di sebuah warung sederhana yang menjadi langganan saya, juga menjadi langganan para pekerja sawmill kayu pallet yang berjumlah sekitar 20 orang.
Sesaat setelah makan, dan butuh tusuk gigi namun tusuk gigi yang tersedia didalam botol kecil diatas meja telah habis. Maka tangan-tangan para pekerja itu, tanpa di komando beralih ke dinding warung yang terbuat dari gedek bambu. Terciptalah tusuk gigi dadakan. Tusuk gigi gedek bambu berdebu.
Sebenarnya ada niat untuk ikut berjamaah mengikutinya. Bukankah lebih afdol saat melakukan sesuatu secara berjamaah…?
Tapi urung saya lakukan, mengingat mereka memanggil saya sebagai mandor.
Untuk mendapatkan tusuk gigi dadakan, sebenarnya banyak sekali cara yang bisa di lakukan asal sesuai dengan waktu dan tempat. Dan biasanya jenis cara yang dilakukan berbeda-beda sesuai dengan tempat, tingkat umur dan tingkat pendidikan.
Contohnya saat saya masih kecil yang tinggal dikampung dan minim pendidikan, asal comot duri salak lalu jadi tusuk gigi, tanpa berpikir itu bisa melukai gusi. Lalu para pekerja kayu dewasa yang juga tinggal dikampung dan minim pendidikan, asal cungkil dinding dari gedek bambu berdebu untuk diubah jadi tusuk gigi, tanpa berpikir itu kotor dan tentu mengandung kuman yang tak bagus buat kesehatan.
Lalu bagaimana dengan orang yang tak tinggal dikampung dan berpendidikan…?
Beberapa kali saya melihat orang dengan setelan kemeja yang menurut penafsiran saya adalah orang kantoran. Yang berarti bukan dikampung dan berpendidikan jika dibanding saya dan para pekerja tadi, menggunakan tusuk gigi dadakan dari paper clip yang di luruskan. Bahkan pernah melihat orang yang menggunakan alat yang sering dipakai untuk mengeluarkan simcard pada Iphone atau hp android unibody, sebagai tusuk gigi dadakannya.
Para ibu-ibu, mungkin tanpa sadar pernah menggunakan sekali atau dua kali peniti sabagai tusuk gigi dadakannya. Atau jarum, atau jarum pentul bagi mereka yang kebetulan bejilbab.
Anak-anak sekolah mungkin menggunakan kertas yang lipat-lipat sampai runcing sebagai tusuk gigi dadakannya. Tapi ini kurang bagus, karena sekali tusuk, kertasnya langsung basah oleh air liur dan menjadi hancur. Alternatif lain yang lebih bagus adalah bungkusan plastik camilan “chiki-chiki”, selain lebih runcing juga tahan lama karena tak mudah hancur seperti kertas tadi.
Oh ya, selain duri salak sebagai tusuk gigi dadakan, ujung tangkai ilalang atau tangkai padi juga sering mengiringi perjalanan saya saat menyusuri pematang sawah. Walau sebenarnya tak ada sisa makanan yang terselip disana. Cuma iseng aja.
Dan lain lagi ceritanya saat nonton tv bareng dirumah tetangga sebelah. Ini pun waktu masih kecil. Dinding kamar yang terbuat dari tripleks, perlahan namun pasti, terkelupas secara diam-diam untuk satu tujuan, yaitu tusuk gigi dadakan. Karena sapu lidi yang biasanya disimpan di belakang pintu disembunyikan oleh yang empunya rumah. Mungkin karena sapu lidinya semakin memendek dan hampir habis oleh ulah saya dan anak-anak lainnya yang iseng menjadikannya tusuk gigi dadakan. Tapi, beberapa orang tua juga memakai sapu lidi itu juga kok… saya berani sumpah, demi Tuhan.
Nah, hari ini kebetulan saya membeli tusuk gigi yang saya rasa berbeda jauh dengan yang sering saya gunakan dulu. bahannya dari plastik yang lumayan keras dengan ujung yang melengkung. Runcing, sudah pasti. Dan bentuknya seperti gergaji jigsaw yang sering dipakai oleh untuk membuat huruf-huruf dari kayu lunak. Ada serabut benang nilonnya. Kuat untuk digesekkan bekali-kali disela-sela gigi yang rapat sekalipun. Benang nilonnya ini pun mengingatkan saya pada saat menggunakan benang layangan putus untuk membersihkan sela-sela gigi.
Dengan tusuk gigi baru ini, untuk sementara waktu, saya akan melupakan semua tusuk gigi dadakan….
Terima kasih telah ikut berkontribusi dimasa kecil saya, tanpa kalian tak akan lahir cerita ini.
Selamat tinggal duri salak, tangkai padi dan ilalang….
Selamat tinggal dinding tripleks, sapu lidi, kertas dan bungkusan chiki-chiki…
Selamat tinggal paper clip, peniti dan jarum…